Archive for the ‘Malingsia’ Category

JAKARTA — Mantan Perdana Menteri Malingsia Anwar Ibrahim mengatakan pemerintah Malingsia sebaiknya mengakui bahwa lagu Rasa Sayange adalah lagu Indonesia.

“Akui saja itu lagu Indonesia,” ujar Anwar dalam acara “Peningkatan Hubungan Indonesia-Malingsia Menuju Tatanan Kehidupan Global yang Berkeadilan dan Bermartabat” di Gedung Habibie Center, Jakarta Selatan, kemarin.

Ia mengatakan publik Malingsia dibesarkan dalam seni, sastra, dan budaya Indonesia sehingga ada beberapa hal yang dianggap menjadi milik mereka. “Saya menyukai lagu keroncong Kali Ciliwung, yang saat ini masyarakat Indonesia saja tidak tahu lagu itu,” ujarnya.

Ia menyarankan Indonesia mematenkan kekayaan budayanya agar hal-hal tersebut tidak terjadi lagi.

Seperti diberitakan, lagu Rasa Sayange, yang dijadikan jingle iklan pariwisata di Malingsia, memicu kemarahan masyarakat Indonesia karena diklaim dan dipatenkan Malingsia sebagai kekayaan budaya Malingsia.

Saat ini pemerintah tengah menelusuri asal-muasal lagu Rasa Sayange. Menurut Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Andi Mattalata, Rasa Sayange penciptanya anonim. Lagu tersebut muncul dari Ambon, Manado, atau dari tempat lain.

Kepastian soal lagu ini bisa dibuktikan melalui penelusuran sejarah. “Ternyata pada 1960 sudah ada rekamannya di Lokananta,” ujarnya. Dengan bukti ini, kata Andi, pemerintah akan mengklaim bahwa lagu itu punya Indonesia. AMANDRA MUSTIKA MEGARANI | RADEN RACHMADI

KORAN TEMPO, Selasa, 30 Oktober 2007

Jakarta – Selain daerah tujuan wisata domestik, seperti Bali, negara-negara Asia kini menjadi tujuan favorit wisatawan Indonesia yang ingin menghabiskan liburan akhir tahunnya. Tapi Malaysia masuk pengecualian.

“Khusus untuk tujuan Malaysia, orang sudah segan. Sampai-sampai agen-agen di sana pada mengeluh,” ungkap Manager Operasi Bayu Buana Travel Services Joyce Sitanala saat dihubungi detikcom, Senin (17/12/2007).

Tidak hanya Bayu Buana, data Dwidaya Tour & Travel juga menunjukkan penurunan yang signifikan untuk tujuan wisata Malaysia. “Turunnya 30-40 persen,” ungkap Tour Manager Dwidaya Tour & Travel Mariani Tjan saat dihubungi terpisah.

Anjloknya tujuan wisata ke Malaysia diduga terkait gonjang-ganjing di negeri jiran itu dan beberapa kasus yang membuat orang Indonesia menjadi sedikit antipati. Misalnya, kasus pemukulan wasit karateka Indonesia, kasus-kasus TKI hingga klaim lagu-lagu dan budaya Indonesia oleh Malaysia.

“Padahal 2-3 tahun terakhir, Malaysia menjadi saingan berat Singapura. Karena Malaysia bisa lebih murah, daya tarik hiburannya juga sudah lebih baik. Tapi beberapa kasus membuat orang Indonesia tidak berminat lagi ke sana,” tutur Joyce.

Senada dengan Joyce, Mariani juga menduga anjloknya peminat wisata Malaysia ada kaitannya dengan kasus-kasus yang membelit kedua negara.

“Tujuan ke Malaysia benar-benar turun, mungkin karena banyaknya rumors seperti demo-demo anti Malaysia atau mungkin juga orang sudah banyak yang ke sana. Di kita (Dwidaya) turunnya 30-40 persen,” ujar dia.

Sikap anti Malaysia mulai muncul setelah kasus-kasus TKI dan pemukulan wasit karateka muncul ke permukaan. Tidak hanya itu, kampanye “Malaysia, Truly Asia” yang didengung-dengungkan negeri itu juga ingin membuat panas suasana. Sebab salah satu lagu yang dinyanyikan dalam promo wisata itu adalah lagu Rasa Sayange. Di Indonesia lagu ini dikenal berasal dari Maluku.
( umi / nrl )

* Praktik “Pencurian” Produk Ekspresi Budaya Harus Dibendung

Jakarta, Kompas – Tindakan Malaysia mengklaim “kepemilikan” ekspresi produk budaya tradisional Indonesia tak cuma terjadi pada bidang kesenian. Melalui kalangan akademis, mereka juga terus mengincar naskah-naskah Melayu klasik Nusantara hingga ke pelosok desa di belahan timur Indonesia.

Dalam rapat kerja Asosiasi Tradisi Lisan (ATL) di Jakarta, 10-11 Desember 2007, terungkap bahwa perilaku di luar etika akademis tersebut sudah berlangsung sejak beberapa tahun terakhir. Bahkan, ratusan hasil penelitian budayawan Tenas Effendi atas tradisi lisan dan naskah- naskah Melayu klasik yang dihimpunnya selama bertahun-tahun sebagian besar kini sudah “diangkut” ke universitas terkemuka di Kuala Lumpur.

“Oleh mereka lalu dibuatkan situs tersendiri. Ketika kita mau menggunakannya harus bayar,” tutur Al azhar dari ATL Riau.

Menurut Al azhar, semangat kapitalisme yang melilit pemikiran orang-orang kaya baru di Malaysia ikut memicu “perburuan” naskah dan atau manuskrip serta perekaman tradisi lisan Melayu oleh orang-orang Malaysia. Apalagi, sejak beberapa dekade terakhir Malaysia terobsesi untuk menjadi pusat tolehan dalam budaya Melayu sedunia.

Riau daratan dan Riau Kepulauan adalah wilayah subur tempat “perburuan” mereka. Dengan berbagai dalih mereka bisa masuk hingga ke pedalaman, lalu diam- diam merekam tradisi-tradisi tutur anak bangsa. Biasanya, kata Ketua Yayasan Bandar Seni Ali Haji, mereka pun menelisik naskah-naskah yang ada di masyarakat dan menawar tinggi untuk membelinya.

Kenyataan ini juga terjadi di Sumatera Barat. “Bagaimana masyarakat penyimpan naskah tak tergiur, mereka dengan ringan bahkan mau membayar Rp 50 juta hingga Rp 60 juta. Padahal, bagi kita uang Rp 5 juta saja sudah luar biasa,” tambah Adreyati dari ATL Sumatera Barat.

Fenomena yang sama muncul di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara. La Niampe, peneliti dan penggiat ATL di Buton, Sulawesi Tenggara, mengaku pernah “menangkap basah” seorang profesor dari Malaysia beserta tujuh rekannya yang melakukan pemotretan secara diam-diam atas naskah-naskah Buton. “Profesor itu akhirnya kami usir, tetapi beberapa puluh naskah sudah sempat mereka ambil,” kata La Niampe.

“Menghadapi kenyataan ini, Sulawesi Selatan membentuk Dewan Ketahanan Budaya. Perannya antara lain untuk membendung praktik ’pencurian budaya’ yang juga terjadi pada naskah- naskah di sini,” kata Halilintar Latief dari ATL Makassar. (ken)

Sumber: Kompas, Rabu, 12 Desember 2007